Selasa, 19 Januari 2016

HUBUNGAN FILSAFAT, MANUSIA DAN PENDIDIKAN





A.  PANDANGAN FILSAFAT TENTANG HAKIKAT MANUSIA

Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materidan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi (Muhammad Noor Syam, 1991).

Kedua, aliran serba roh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah roh. Hakikat manusia juga adalah roh. Sementara zat adalah manifestasi dari roh. Menurut Fiche, segala sesuatu yang ada (selain roh) dan hidup itu hanyalah perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari roh (Sidi Gazalba, 1992: 288).

Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh dan roh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan roh. Antara badan dan roh terjadi sebab akibat keduanya saling memengaruhi.

Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba roh atau dualisme, tetapi dari eksistensi manusia di dunia ini.

Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan roh. Islam secara tegas mengatakan bahwa dan roh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh allah. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam materiil. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dan bumi dan roh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah roh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.

Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo mengemukakan bahwa:

1.      Hakikat manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya, bagian esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia  wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis.

2.      Hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya, tidak hanya keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat manusia itu sendiri, tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya (Poespoprodjo, 1988: 5).

Memang keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang menarik. Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala peristiwa dan masalah apa pun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya berhubungan dengan manusia. Kedudukan manusia yang menarik ialah bahwa manusia itu menyelidiki kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang diselidikinya pula (Drijarkara, 1986: 50).  Kadang, hasil penyelidikan mengenai lingkungannya itu ternyata lebih memuaskan dari pada penyelidikan tentang manusia itu sendiri.

B.  SISTEM NILAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Sistem merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang bergabung menjadi suatu keseluruhan. Terkaitan dengan, nilai yang merupakan suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial. Karena manusia, sebagai makhluk budaya dan makhluk lain, selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, manusia dalam proses interaksinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.

Manusia merupakan subjek pendidikan dan sebagai objek pendidikan, karena itu manusia memiliki sikap untuk dididik dan siap untu mendidik. Namun demikian, berhasil tidaknya usaha tersebut banyak tergantung pada jelas tidaknya tujuan. Karena itu, pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan pendidikan yang berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia, yaitu pancasila yang menjadi pokok dalam pendidika, melalui usaha-usaha pendidikan, dalam keluarga, masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial atau bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh manusia lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh manusia lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh aliran progressivisme bahwa “masyarakat menjadi wadah nilai-nilai”. Manusia didalam hubungannya dengan sesame dan dengan alam semesta (habl min al-nasional wa habl min al-alam) ini tidak mungkin melakukan sikap yang netral. Karena pada dasarnya manusia itu sudah mempunyai watak manusiawi seperti cinta, benci, simpati, hormat, antipasti dan lain sebagainya. Kecenderungan untuk cinta, benci, simpati, dan lainnya itu merupakan suatu sikap. Setiap sikap yang ada adalah konsekuensi dari suatu penilaian, apakah penilaian itu didasarkan atas asas-asas objektif rasional atau subjektif emosional belaka (Imam Barnadib, 1987: 31-32).

a.       Pengertian Penilaian

Perkembangan penyelidikan ilmu pengetahuan tentang nilai menyebabkan beragam pandangan manusia tentang nilai-nilai. Begitu juga sejarah peradaban manusia mengenai masalah nilai, masih merupakan problem, meskipun selama itu pula manusia tetap tidak dapat mengingkari efektivitas nilai-nilai didalam kehidupannya. Pada kaum penganut sofisme misalnya dengan tokohnya Pitagoras (481-411 SM), berpendapat bahwa nilai bersifat relative tergantung pada waktu (Imam Barnadib, 1987: 133). Sedangkan menurut idealisme, nilai itu bersifat normative dan objektif serta berlaku umum saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.  

Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai itu merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.

b.      Bentuk dan Tingkat-tingkat Nilai

Menurut Burbecher, nilai itu dibedakan dalam dua bagian , yaitu nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk yang lain. Nilai intrinsik adalah yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan didalam dirinya sendiri. Namun ada juga yang membedakan bentuk nilai itu berdasarkan pada bidang apa itu efektif dan berfungsi seperti nilai moral, nilai ekonomi dan sebagainya. Adapun tingkat perkembangan nilai, menurut Augeste Comte, itu berbagi menjadi tiga, yaitu tingkat teologis, tingkat metafisik dan tingkat positif.

c.       Nilai-nilai Pendidikan dan Tujuan Pendidikan

Menurut Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal. Tujuan pendidikan, baik itu pada isinya ataupun rumusannya, tidak akan mungkin dapat kita teteapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Membahas tentang nilai-nilai pendidikan, tentu akan lebih jelas kalau dilihat melalui rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan yang hendak diwujudkan didalam pribadi anak didik.

d.      Etika Jabatan

Fungsi dan tanggung jawab mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setiap warga masyarakat. Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda, khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati, apa pun namanya, tiap orang tua merasa berkepentingan dan berharap supaya anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu, kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia.

C.  HUBUNGAN FILSAFAT DAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Secara fungsional hubungan antara filsafat dan teori pendidikan adalah sebagai berikut :

1.      Filsafat dalam arti filosofis merupakan menyelidikan dengan akal budi dalam rangka memecahkan permasalahan pendidikan.

2.      Filsafat berfungsi mengarahkan teori pendidikan yang telah ada dengan mengikuti aliran filsafat tertentu yang nyata.

3.      Filsafat pendidikan mempunyai fungsi memberikan petunjuk dan arahan dalam mengembangkan teori-teori pendidikan yang kemudian menjadi ilmu pendidikan (pedagogik).