A. PANDANGAN
FILSAFAT TENTANG HAKIKAT MANUSIA
Ilmu
yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam
hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas. Pertama, aliran serba zat. Aliran ini
mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini
adalah zat atau materidan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu,
manusia adalah zat atau materi (Muhammad Noor Syam, 1991).
Kedua,
aliran serba roh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada
didunia ini ialah roh. Hakikat manusia juga adalah roh. Sementara zat adalah
manifestasi dari roh. Menurut Fiche, segala sesuatu yang ada (selain roh) dan
hidup itu hanyalah perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari roh (Sidi
Gazalba, 1992: 288).
Ketiga,
aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya
terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini
masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama
lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh dan roh tidak berasal dari badan.
Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan roh. Antara badan dan roh
terjadi sebab akibat keduanya saling memengaruhi.
Keempat,
aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat
manusia merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang
menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut
serba zat atau serba roh atau dualisme, tetapi dari eksistensi manusia di dunia
ini.
Filsafat
berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan roh. Islam
secara tegas mengatakan bahwa dan roh adalah substansi alam, sedangkan alam
adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh allah. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa
proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam materiil.
Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dan bumi dan roh yang
berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah roh sedangkan
jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi
tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
Terkait
dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo mengemukakan bahwa:
1. Hakikat
manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya, bagian
esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun
fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib
menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut
agar bekerja secara harmonis.
2. Hakikat
manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya, tidak hanya keselarasan batin
antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat manusia itu sendiri,
tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya (Poespoprodjo,
1988: 5).
Memang
keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang menarik. Selain manusia
selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala peristiwa
dan masalah apa pun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya berhubungan dengan
manusia. Kedudukan manusia yang menarik ialah bahwa manusia itu menyelidiki
kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang diselidikinya pula (Drijarkara,
1986: 50). Kadang, hasil penyelidikan
mengenai lingkungannya itu ternyata lebih memuaskan dari pada penyelidikan
tentang manusia itu sendiri.
B. SISTEM
NILAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Sistem
merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan,
yang bergabung menjadi suatu keseluruhan. Terkaitan dengan, nilai yang
merupakan suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial. Karena
manusia, sebagai makhluk budaya dan makhluk lain, selalu membutuhkan bantuan
orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, manusia dalam proses
interaksinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina
dengan baik dan selaras.
Manusia
merupakan subjek pendidikan dan sebagai objek pendidikan, karena itu manusia
memiliki sikap untuk dididik dan siap untu mendidik. Namun demikian, berhasil
tidaknya usaha tersebut banyak tergantung pada jelas tidaknya tujuan. Karena
itu, pendidikan di Indonesia mempunyai tujuan pendidikan yang berlandaskan pada
filsafat hidup bangsa Indonesia, yaitu pancasila yang menjadi pokok dalam
pendidika, melalui usaha-usaha pendidikan, dalam keluarga, masyarakat, sekolah
dan perguruan tinggi.
Dari
beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai akan selalu
muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial atau bermasyarakat dengan
manusia lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh manusia lain. Hal
ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh manusia lain. Hal ini sesuai dengan
apa yang dikatakan oleh aliran progressivisme bahwa “masyarakat menjadi wadah
nilai-nilai”. Manusia didalam hubungannya dengan sesame dan dengan alam semesta
(habl min al-nasional wa habl min al-alam) ini tidak mungkin melakukan sikap
yang netral. Karena pada dasarnya manusia itu sudah mempunyai watak manusiawi
seperti cinta, benci, simpati, hormat, antipasti dan lain sebagainya. Kecenderungan
untuk cinta, benci, simpati, dan lainnya itu merupakan suatu sikap. Setiap
sikap yang ada adalah konsekuensi dari suatu penilaian, apakah penilaian itu
didasarkan atas asas-asas objektif rasional atau subjektif emosional belaka
(Imam Barnadib, 1987: 31-32).
a. Pengertian
Penilaian
Perkembangan
penyelidikan ilmu pengetahuan tentang nilai menyebabkan beragam pandangan
manusia tentang nilai-nilai. Begitu juga sejarah peradaban manusia mengenai
masalah nilai, masih merupakan problem, meskipun selama itu pula manusia tetap
tidak dapat mengingkari efektivitas nilai-nilai didalam kehidupannya. Pada kaum
penganut sofisme misalnya dengan tokohnya Pitagoras (481-411 SM), berpendapat
bahwa nilai bersifat relative tergantung pada waktu (Imam Barnadib, 1987: 133).
Sedangkan menurut idealisme, nilai itu bersifat normative dan objektif serta
berlaku umum saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
Dari
beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu pengertian bahwa nilai itu
merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan
sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.
b. Bentuk
dan Tingkat-tingkat Nilai
Menurut
Burbecher, nilai itu dibedakan dalam dua bagian , yaitu nilai intrinsik dan
nilai instrumental. Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena
bernilai untuk yang lain. Nilai intrinsik adalah yang dianggap baik, tidak
untuk sesuatu yang lain, melainkan didalam dirinya sendiri. Namun ada juga yang
membedakan bentuk nilai itu berdasarkan pada bidang apa itu efektif dan
berfungsi seperti nilai moral, nilai ekonomi dan sebagainya. Adapun tingkat
perkembangan nilai, menurut Augeste Comte, itu berbagi menjadi tiga, yaitu
tingkat teologis, tingkat metafisik dan tingkat positif.
c. Nilai-nilai
Pendidikan dan Tujuan Pendidikan
Menurut
Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan
nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai
moral dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni
membina kepribadian ideal. Tujuan pendidikan, baik itu pada isinya ataupun
rumusannya, tidak akan mungkin dapat kita teteapkan tanpa pengertian dan
pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Membahas tentang nilai-nilai
pendidikan, tentu akan lebih jelas kalau dilihat melalui rumusan dan uraian tentang
tujuan pendidikan yang hendak diwujudkan didalam pribadi anak didik.
d. Etika
Jabatan
Fungsi
dan tanggung jawab mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setiap warga
masyarakat. Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan
bagi generasi muda, khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri.
Secara kodrati, apa pun namanya, tiap orang tua merasa berkepentingan dan
berharap supaya anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh
karena itu, kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap
manusia.
C. HUBUNGAN
FILSAFAT DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Secara
fungsional hubungan antara filsafat dan teori pendidikan adalah sebagai berikut
:
1. Filsafat
dalam arti filosofis merupakan menyelidikan dengan akal budi dalam rangka
memecahkan permasalahan pendidikan.
2. Filsafat
berfungsi mengarahkan teori pendidikan yang telah ada dengan mengikuti aliran
filsafat tertentu yang nyata.
3. Filsafat
pendidikan mempunyai fungsi memberikan petunjuk dan arahan dalam mengembangkan teori-teori
pendidikan yang kemudian menjadi ilmu pendidikan (pedagogik).